Rabu, 06 Juli 2011

Beban Pembuktian ( Burden of Proof)

Saya rasa semua ateis di sana pasti tahu logika ateis tentang beban pembuktian :
Jika kamu mengatakan ada teko teh di angkasa, ya kamu yang harus membuktikan itu. Kurang lebih sudut pandangnya kan gitu seperti omongan poci teh ala Russell...

Misalnya kamu ngomong ada air di bulan, ya kamu yang harus membuktikan itu. Bukan pihak lain yang harus membuktikan kesalahan klaim kamu. Tetapi kamu yang memberikan pernyataan yang harus bertanggung jawab membuktikan...

Begitu juga jika ada yang ngomong Tuhan ada, maka orang itu yang harus membuktikan omongannya. Bukan pihak yang tidak percaya disuruh membuktikan ketidakberadaan Tuhan . Jika tidak bisa dibuktikan, maka posisi defaultnya ya dianggap tidak ada.

Ada yang tidak setuju ????
Nggak ada ya ?

wah...ya jelas ada. Salah satunya aku hi hi hi...


Logika di atas cukup masuk akal, tetapi bukan satu-satunya logika yang bisa diambil terkait BEBAN PEMBUKTIAN...

Ada juga logika yang lain yang juga menarik :

Bagaimanapun Teis itu ada sebelum Ateis...

Ateis datang sebagai kritikus terhadap Teis.

Lha sebagai kritikus atau penuduh tentu pihak penuduh yang harus membuktikan tuduhannya. Bila sang jaksa tidak bisa membuktikan tuduhannya maka terdakwa harus dianggap tidak bersalah.

Sebenarnya wajar jika pihak yang mengatakan sesuatu harus membuktikan perkataannya. Pada sisi lain wajar juga jika pihak lain berusaha membuktikan kesalahan orang itu.

Begitu juga secara default penuduh semestinya yang harus membuktikan tuduhannya.
Tetapi juga wajar jika terdakwa ingin memberikan pembelaannya, walaupun tanpa pembelaan pun jika dakwaan tidak bisa dibuktikan posisi defaultnya tidak bersalah.

Jadi di pundak siapa beban pembuktian KEBERADAAN TUHAN ???
http://www.facebook.com/topic.php?uid=158795074155200&topic=240

Ketiadaan Bukti dan Bukti Ketiadaan

Seorang rekan saya yang pintar dari Komunitas Ateis Indonesia (KAI), Herwit Soyutz, memberikan sebuah pertanyaan yang sangat menarik pada sebuah forum diskusi di KAI  :

Beberapa orang menganggap kalau ketiadaan bukti adalah bukti dari ketiadaan, sedangkan yang lain bilang kalau ketiadaan bukti bukanlah bukti dari ketiadaan... Tetapi makin dipikirkan, kok makin memusingkan yaa,, (- -)

Misalkan begini...

Kasus I :
Sebuah apel merah benar ada di atas kepalaku. Orang yg tidak bisa melihat, walaupun ia dapat meraba adanya apel di atas kepalaku, tetap tidak ada bukti baginya kalau apel itu benar berwarna merah. Jika ia mengklaim tidak adanya apel merah karena tidak melihatnya (tak ada bukti), tentu klaimnya keliru... Dalam hal ini, ketiadaan bukti bukanlah bukti dari ketiadaan menjadi benar...

Kasus II:
Sebuah apel merah tidak benar ada di atas kepalaku. Orang yg bisa melihat tentu tau kebenaran hal itu. Jika ia mengklaim tidak adanya apel merah di atas kepalaku karena tidak melihatnya (tak ada bukti), tentu klaimnya benar... Dalam hal ini, ketiadaan bukti adalah bukti dari ketiadaan menjadi benar...

Nahh,, lhoo...!!

Yang memusingkan lagi, orang normal yg (misalkan) mengklaim Alien itu benar tidak ada karena tidak melihatnya,, apakah karena ia berada pada posisi seseorang di kasus I (keterbatasan indera membuatnya tidak mengetahui kebenaran adanya Alien) atau karena ia berada pada posisi seseorang di kasus II (memang suatu kebenaran tidak adanya Alien)...???

Silakan berpendapat,,, ^^



Ada beberapa rekan yang mencoba urun rembug dalam diskusi tersebut, tetapi menurut saya,  masalah ini berhasil diselesaikan dengan baik oleh Saudara Jansen Tanu.

Saudara Jansen Tanu berpendapat demikian  :

Tolong jangan di comot2 quote Carl Sagan.
"The absence of evidence is the evidence of absence" cuman berlaku untuk bentuk evidence yg telah diketahui. Saya tekankan sekali lagi. CUMAN UNTUK PEMBUKTIAN YG SUDAH DIKETAHUI
...
Untuk situasi dimana bentuk pembuktiaannya diketahui , ketiadaan bukti adalah bukti ketiadaan.

Untuk situasi dimana bentuk pembuktiannya belum diketahui, ketiadaan bukti BUKAN bukti ketiadaan.

Saya pribadi senang dan bisa menerima pendapat ini. Saya memberikan beberapa contoh untuk menjelaskan kebenaran pendapat tersebut.

Ketiadaan bukti bakteri sebelum ada mikroskop bukan menjadi bukti ketiadaan bakteri, Karena nyatanya kita tahu sekarang bakteri itu ada. Hanya saja pada waktu lampau belum berhasil dibuktikan ===> Dalam kasus ini ketiadaan bukti bukan menjadi bukti ketiadaan.

Ketiadaan bukti misalnya apel di kepala seseorang di waktu tertentu, bisa dianggap bukti ketiadaan apel pada waktu itu ===> Dalam kasus ini ketiadaan bukti bisa dianggap bukti ketiadaan.

Kemudian saya tambahkan di bawah pernyataan tersebut :

Dalam kasus Keberadaan Tuhan, ketiadaan bukti jelas bukan bukti ketiadaan , karena bentuk pembuktiannya belum diketahui...

Kebanyakan ateis, saya rasa bisa menyepakati hal ini. Bisa jadi ada penolakan untuk hal-hal  lain, tetapi untuk pendapat itu, tidak ada penolakan dari teman-teman ateis meskipun tulisan itu sudah cukup lama menghiasi forum diskusi Komunitas Ateis Indonesia.

Pembuktian yang dimaksud dalam tulisan tersebut adalah pembuktian ilmiah menurut sains. Agama sendiri umumnya mengajarkan bahwa manusia memiliki keterbatasan dibandingkan dengan Tuhan yang Maha Kuasa sehingga wajar saja bila manusia tidak mungkin menjangkau Tuhan. Jangkauan manusia adalah sebatas ijin Tuhan. Ilmu itu tidak selalu sifatnya material, jadi sesuatu yang tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan material pada ruang dan waktu tertentu tidak menjadi lantas bisa lekas-lekas disimpulkan tidak ada. Kira-kira seperti itu.

Dari sisi sains , pembuktian secara sains empiris , biasanya terkait dua hal :
-          Pertama : Verifikasi
-          Kedua    : Falsifikasi .

Dalam verifikasi, konsep dianggap dibuktikan benar apabila cukup banyak observasi atau upaya pembuktian yang menyatakan konsep tersebut benar. Kata “Banyak” itu sendiri memang tidak jelas standardnya berapa kali verifikasi mesti dilakukan sehingga pembuktian bisa dianggap objektif. Semakin banyak observasi dilakukan dianggap semakin objektif. Tetapi tidak jelas batasannya berapa kali verifikasi harus dilakukan. Serta juga tidak ada jaminan semakin banyak verifikasi maka selalu bisa dipastikan konsep tersebut benar.

Untuk menyempurnakan verifikasi, kemudian muncul ide falsifikasi
dari Karl Popper. Dalam falsifikasi : Suatu konsep dianggap benar apabila belum ada yang membuktikan jika konsep tersebut salah.
Jadi jika ada pernyataan misalnya semua angsa itu putih. Seribu buah  verifikasi ternyata memperlihatkan angsa putih, tetapi ternyata ditemukan satu saja angsa hitam , maka berarti pernyataan semua angsa putih dianggap salah. Mengapa salah ? Karena ada bukti yang menyatakan sebaliknya. Konsep tersebut dianggap sebagai batas yang memisahkan antara pembuktian secara sains dengan non sains.

Konsep ini ada untuk mempermudah ilmuwan dalam membuat pemisahan antara konsep yang bisa dipastikan terbukti salah dan konsep yang masih bisa dianggap benar secara sains. Kita ingat bahwa dengan falsifikasi  maka satu verifikasi saja yang menunjukkan bukti sebaliknya, ini akan meruntuhkan pembuktian konsep tersebut.

Falsifikasi tidak menyatakan bahwa hal-hal yang tidak bisa difalsifikasi sebagai pasti terbukti salah. Hanya saja jika sebuah konsep tidak bisa difalsifikasi, konsep tersebut menjadi tidak terjangkau atau tidak terjelaskan secara sains empiris..

Ketika bakteri belum ditemukan karena keterbatasan manusia pada masa lalu, bakteri itu sendiri tentu saja ada. Tetapi  bakteri tidak bisa dibuktikan ada, dan bahkan jika kita lebih ke belakang lagi , konsep mengenai bakteri itu sendiri juga sebelumnya belum dibuat orang.

Ketiadaan konsep keberadaan bakteri, ketiadaan bukti bahwa bakteri itu ada -  terbukti tidak identik dengan bukti ketiadaan bakteri. Karena sekarang kita bisa membuktikan bahwa bakteri itu ada. Bakteri itu ada ternyata tidak terkait dengan apakah bakteri bisa dibuktikan atau tidak.

Batasan pembuktian ala sains itu bagus untuk memberikan semacam acuan yang mempermudah pemisahan antara sains dengan non sains. Tetapi tidak lantas menjadi berarti bahwa jika sains tidak berhasil membuktikan suatu konsep maka konsep tersebut tidak benar.

Konsep yang tidak bisa dianalisa secara pembuktian sains,  biasanya didiskusikan sebagai metafisika, diskusi filsafat atau diskusi logika. Kita tidak lagi mengatakan bahwa sesuatu itu bisa dibuktikan pasti benar atau pasti salah secara sains, tetapi kita membahas apakah konsep tersebut masuk akal atau tidak, memiliki masalah dengan dirinya sendiri atau tidak.

Sampai dengan titik ini, biasanya ateis bisa menerima. ^_^

Perkembangan Ateis Indonesia

Tidak jelas berapa populasi ateis di Indonesia karena tidak ada data statistik resmi terkait jumlah ateis Indonesia. Karena alasan tekanan, kebanyakan ateis Indonesia juga memiliki agama.

Biarpun tidak ada data yang jelas, kemungkinan besar memang ada perkembangan ateisme di Indonesia.
Salah satu data yang dibuat peneliti luar di tahun 2009 menyebutkan ateis kira-kira 1,5 persen dari populasi
(Sumber : Lynn, R., Harvey, J., & Nyborg, H. (2009). Intelligence predicts atheism across 137 nations. Intelligence, 37, 11-15.)


Internet juga menciptakan ruang yang lebih bebas bagi berekspresi untuk semua kelompok . Jakarta Globe dalam salah satu artikelnya mencatat pertumbuhan ateis Indonesia. 


http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/the-rise-of-indonesian-atheism/410166
http://richarddawkins.net/articles/558808-the-rise-of-indonesian-atheism/comments?page=1

Tidak ada yang tahu pasti apa yang menyebabkan terjadinya fenomena ini, karena tidak ada penelitian langsung mengenai hal ini. Tetapi dari pengamatan subjektif  di berbagai forum diskusi termasuk forum-forum ateis, ada dua hal yang menonjol yang mungkin bisa menjadi penyebabnya. Pertama : Kampanye sains yang kemudian dikorelasikan erat dengan ateisme sehingga perkembangan sains dianggap erat kaitannya dengan kemenangan ateisme. Kedua : Akumulasi Kebosanan dan kejengkelan menghadapi intoleransi yang mengatasnamakan agama, sehingga karena nilai nilai baik agama-agama secara faktual dianggap hanya omong kosong kemudian banyak orang yang memilih tidak beragama. Atau  kalaupun terpaksa beragama sekedar mematuhi aturan normatif negara dan/atau melindungi diri dari tekanan masyarakat, walaupun pada kenyataannya sudah ada ketidakpercayaan terhadap nilai-nilai agama.

http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/17/fear-religious-starts-early.html